Jakarta (DK) – JJSC Zarubezhneft, perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah dari Rusia menyatakan mundur. dari proyek Blok Tuna yang berada di Laut Natuna Utara, sebelah perbatasan Indonesia-Vietnam. Dampak mundurnya JJSC Zarubezhneft berdampak kepada mundurnya target jangka panjang atau long term plan (LTP) produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) mundur dari 2030.
Lewat anak usahanya, ZN Asia Ltd, perusahaan pelat merah Rusia itu memegang 50% (persen) hak partisipasi Blok Tuna, bersama dengan Harbour Energy Group, perusahaan minyak dan gas yang berbasis di Edinburgh , Skotlandia melalui anak usahanya Premier Oil Tuna BV, yang menggenggam 50% (persen).
Ditemui di ICE BSD, Selasa (15/5/2024), Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto memastikan proses investasi di Blok Tuna oleh Harbour Energy selaku operator masih tetap berjalan, meski ditinggalkan oleh perusahaan migas pelat merah asal Rusia itu.
Dwi mengatakan Harbour Energy, selaku operator tetap, memiliki kewajiban untuk menjalankan proyek, terlepas dari apapun yang terjadi dengan mitranya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan target produksi atau onstream dari Blok Tuna berpotensi mundur dari 2026 ke 2027, menyusul hengkangnya JJSC Zarubezhneft dari Rusia di proyek tersebut.
Kendati demikian, Dwi memastikan terdapat 3 perusahaan, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang potensial menggantikan Zarubezhneft di Blok Tuna.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro mengatakan saat ini proses farm out, yang merupakan pengalihan interest dari pemegang kendali wilayah kerja yang ada ke perusahaan lain atau bentuk konsorsium, tengah berlangsung.
“Sudah pasti [hengkang dari Blok Tuna], yang [sedang] berproses proses farm out-nya ZN [Asia Ltd, selaku anak usaha JJSC Zarubezhneft], tinggal menunggu siapa yang menggantikan ZN di blok Tuna,” ujar Hudi kepada Bloomberg Technoz.
Perusahaan migas asal Inggris, Harbour Energy, memutuskan untuk mengundur investasi akhir atau final investment decision (FID) terhadap pengembangan Blok Tuna, di Laut Natuna Timur hingga 2025. Pemerintah Indonesia padahal telah memberikan persetujuan untuk rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Lapangan Tuna sejak Desember 2022.
Lewat keterbukaan informasi, Harbour tak menampik jika pengunduran rencana itu investasi itu imbas sanksi Uni Eropa (UE) dan Inggris terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Hal ini berdampak pada salah satu mitra perusahaan tersebut di Blok Tuna yang merupakan BUMN Migas asal Rusia, Zarubezhneft.
“Di tempat lain di Indonesia, kami berupaya untuk mengembangkan rencana pengembangan lapangan yang telah disetujui untuk penemuan Tuna kami yang terkena dampak sanksi UE dan Inggris,” ujar Chief Executive Officer (CEO) Harbour Energy, Linda Zarda Cook dalam keterbukaan informasi, Agustus.
“Kami terus melakukan diskusi konstruktif dengan Pemerintah Rusia sebagai mitra kami, dan pemerintah Indonesia untuk mencapai solusi, tetapi tidak mengantisipasi untuk dapat memulai FID hingga tahun depan [2024], yang berarti potensi keputusan investasi akhir akan diambil pada 2025,” kata dia.
Sekadar catatan, Zarubezhneft lewat anak usahanya ZN Asia Ltd memegang 50% hak partisipasi Blok Tuna, bersama dengan Harbour Energy Group melalui anak usahanya Premier Oil Tuna BV, yang menggenggam 50%. Adapun, proses penggantian investor dilakukan melalui skema business to business (B2B).
Blok migas yang terletak di lepas pantai Natuna Timur itu dioperatori perusahaan migas asal Inggris Premier Oil Tuna BV, salah satu anak usaha Harbour Energy Group dengan hak partisipasi 50%, dan Zarubezhneft, lewat anak usahanya ZN Asia Ltd. ikut memegang 50% hak partisipasi Blok Tuna.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMSCFD). Selain itu, investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.(rd)