TANJUNGPINANG | diarykepri.com – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Pengembang dan Perumahan Rakyat (HIMPERRA ) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merasa bingung dengan adanya fenomena perubahan status lahan di Bintan yang bisa berubah secara tiba-tiba.
“Kita bingung dengan kebijakan di Bintan. Dimana status lahan yang sudah bersertifikat tiba-tiba berubah menjadi hijau,” ungkap Ketua DPD HIMPERRA Provinsi Kepri, Urip Widodo kepada wartawan, Kamis, (11/07/2024)
Akibat kebijakan tersebut berdampak besar bagi masyarakat terutama dalam mendapatkan informasi kepengurusan hak kepemilikan tanah. “Sebagai contoh, jika status tanah yang sudah bersertifikat. Tentu sertifikat kepemilikan itu kan sebagai bukti legalitas kepemilikan yang diakui negara,” tutur Urip.
Namun ajaibnya, tiba-tiba muncul aturan lainnya yang menganulir atau menghilangkan kepemilikan masyarakat tadi. Kondisi ini ibaratnya seperti tidak ada pegangan hukum yang bisa dipegang.
Selain itu, dia juga mempertanyakan keberpihakan para pemangku kepentingan di tingkat eksekutif yang di Provinsi Kepri ini. Apakah berpihak kepada masyarakat atau kepentingan lainnya.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi tambah Urip, dunia perbankan juga dirugikan dengan perubahan-perubahan ini. Karena tidak dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan paripurna kepada masyarakat, terutama yang ingin mendapatkan kredit dengan jaminan lahan milik mereka.
Dengan status lahan masyarakat yang sudah menjadi hijau, tentu masyarakat kehilangan haknya untuk mendapatkan pinjaman perbankan.karena bank tidak mau menerima permohona kredi pinjaman. “Padahal masyarakat itu sebagai penggerak ekonomi daerah yang harusnya bisa mendapatkan pinjaman dari perbankan, jadi terkendala gara-gara ini,” tegas Urip.
Dia mengutip, statemen dari Presiden RI Joko Widodo saat program bagi-bagi sertifikat gratis secara besar besaran di seluruh Indonesia. Dimana Presiden selalu menekankan manfaat sertifikat tanah yang dibagikannya adalah agar masyarakat bisa mendapatkan modal dari perbankan untuk mengembangkan usaha.
Kondisi ini apabila dibiarkan kata Urip maka akan memberikan dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepri pada umumnya dan Bintan pada khususnya. “Pengaruhnya sangat besar, hanya jarang ada yang mau mengangkat (blow up),” tegas Urip.
Disinggung adanya keterlibatan perusahaan-perusahaan besar yang ingin terus-terusan menguasai lahan di Bintan, Urip memang tidak mau terlalu jauh berspekulasi. Namun bisa saja muncul dugaan kalau kondisi tersebut boleh jadi ada hubungannya dengan perusahaan-perusahaan besar yang ingin menguasai lahan-lahan di Bintan.
Masyarakat Bintan itu banyak yang kena imbasnya, hanya mereka tak tahu mau menyuarakan kemana. Paling paling kepada pers, atau lembaga lembaga yang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Dia memberikan contoh sebuah kejadian aneh yang dialami masyarakat di Bintan. Dimana ada masyarakat yang memiliki lahan 3000M2 yang bersertifikat. Kemudian mendirikan bangunan rumah dengan luas 120M2. Saat dilakukan ploting atau proses verifikasi keaslian sertifikat tanah dengan teknologi GPS, yang dimaksudkan untuk mengetahui posisi asli lahan di dalam database peta pendaftaran BPN ternyata yang putih itu hanya rumahnya saja, sedangkan halamannya dalam status hijau.
Fenomena ini kata Urip banyak tidak diketahui oleh masyarakat karena kebijakan tersebut kemungkinan tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. “Tidak ada sosialisasi. Tidak ada uji publik, tidak ada ganti rugi akibat hilangnya hak masyarakat. Ini jarang sekali disuarakan.,” ungkap Urip.
Kalau status lahan berwarna hijau maka artinya masyarakat akan sulit untuk menjualnya karena kantor BPN tidak bisa memproses. “Bayangkan jika lahan yang mau dijual untuk keperluan menyekolahkan anaknya. Padahal penguasaan lahan itu sudah pada generasi kedua yaitu dari bapaknya,” kata Urip.
Urip berharap prinsip keadilan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di daerah ini dapat dipernuhi secara benar. Karena kalau itu tidak dilakukan maka diyakininya akan terjadi stagnasi dalam sektor ekonomi ditengah-tengah masyarakat. “Kalau sudah dihijaukan, apa yang bisa diperbuat,” keluh Urip.
Seraya mengakhiri, Urip mengingatkan para pemangku kepentingan, terutama eksekuti dan legislatif untuk berfikir ulang dalam merumuskan kebijakan yang tidak pro rakyat. Silahkan mengakomodir aturan-aturan terkait penetapan kawasan hutan. Namun jangan sampai mengabaikan kearifan lokal sehingga merugikan masyarakat dan perekonomian sebuah daerah.
“Harapan kami yang pertama itu, prioritaskan tanah di seluruh pulau Bintan itu yang sudah bersertifikat tanpa melihat waktu penerbitannya untuk diputihkan,” tandas dia.
Kode Zona Lahan
Dari sejumlah sumber yang berhasil dirangkum dairykepri.com, berikut penjelasan rinci dari masing-masing kode zona yang digunakan untuk menentukan status lahan pada suatu wilayah.
Status Zona Hijau
Warna hijau pada peta daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ini menyatakan status tanah yang bisa digunakan untuk kebutuhan vegetasi. Vegetasi sendiri mengacu kepada bagian dari tanaman yang menutupi permukaan bumi. Sehingga, kita sebagai makhluk hidup bisa menikmati fungsi dari vegetasi ini.
Nah, jika warna zona tersebut hijau maka tandanya itu adalah lahan untuk hutan kita, kawasan pertanian, perkebunan hingga taman kota dan akan sulit untuk dibangun atau mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Jika anda melihat ada warna atau jalur hijau pada peta RTRW daerah tertentu. Maka, ini tidak bisa berubah ke warna lain seperti warna kuning. Karena, kebanyakan kebijakan daerah menetapkan 70 persen lahan harus merupakan bagian dari vegetasi. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem.
Status Zona Kuning/Putih
Arti warna zona tanah berwarna kuning atau jalur kuning memiliki arti kalau zona tersebut untuk tempat tinggal atau pemukiman penduduk. Jika anda membeli tanah pada zona ini, maka anda tidak akan kesulitan mendapatkan IMB. Bagi masyarakat sangat disarankan untuk membeli tanah pada zona ini karena tidak akan mendapatkan kendala dalam mendirikan bangunan.
Status Zona Ungu, Oranye atau Coklat
Anda juga mungkin melihat ada warna lain selain warna hijau dan merah. Setiap daerah memiliki kebijakan dan warna berbeda untuk jenis zonasi ini. Ada yang menggunakan warna orange, ungu bahkan coklat. Namun, fungsinya tetap sama yakni menunjukkan jalur jasa dan perdagangan. Sehingga, kawasan ini tidak bisa anda gunakan untuk lahan tempat tinggal.
Biasanya, kawasan jalur jasa dan perdagangan inu berada pada pinggir jalan utama atau jalan besar (raya). Jika ingin membuat atau mendirikan bangunan maka akan mengalami kesulitan. Walaupun, mungkin ada kalanya anda juga bisa mendapatkan IMB di zona ini.
Status Zona Merah
Arti warna zona tanah terakhir adalah warna merah. Tanah dengan zona merah ini sesuai dengan warna tanannya. Warna merah ini menandakan ada bahaya. Sehingga anda yang ingin membeli dan menggunakan tanah pada zona ini harus berhati-hati.
Biasanya, kawasan ini rawan masalah seperti gempa bumi atau tanah longsor dan bencana alam lainnya. Bahkan developer yang ingin membangun perumahan juga harus benar-benar tahu bagaimana cara mengolah tanah dengan benar. Pihak pemerintah daerah juga tidak bisa sembarangan memberikan izin untuk mengelola tanah dengan zona merah ini.(ai)