Bisa jadi lagu ini terinspirasi saat penciptanya melihat seorang gadis melayu yang sedang memakai tudung manto.
Penelusuran asal mula terciptanya tudung manto bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, disamping karena tudung manto sendiri adalah perlengkapan pakaian yang sangat mudah rusak dan hancur. Sehingga tidak dijumpai peninggalan tudung manto dari masa awal pembuatannya, juga dikarenakan belum ditemukannya penyebutan tudung manto secara spesifik dalam manuskrip kuno Melayu.
Hal ini menyebabkan tidak diketahui secara pasti tahun berapa dan dimana pertama kali tudung manto dibuat. Namun demikian, pemakaian tudung (dalam pengertian yang umum) oleh perempuan Melayu dapat ditemukan dalam naskah Sulalaltus Salatin, yang menyebutkan
Penggalan kalimat tersebut menunjukkan bahwa setidaknya tudung telah menjadi kelengkapan pakaian perempuan Melayu sejak zaman Kerajaan Melaka. Sebagai bagian dan sekaligus turunan/kelanjutan dari kerajaan Melaka, masyarakat dalam kerajaan Johor-Riau-Lingga masih memiliki kebudayaan yang sama (khususnya dalam pemakain tudung).
Berdasarkan penelitian lapangan, diperoleh beberapa pendapat mengenai asal mula tudung manto dalam masyarakat Melayu Daik. Pendapat pertama menyebutkan bahwa cikal bakal tudung manto telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Abdullah Muayat Syah yang pernah memindahkan ibukota kerajaan Melayu Johor-Riau ke pulau Lingga pada tahun 1618, dengan alasan menjauhkan diri dari pengaruh Aceh. Pada masa ini diperkirakan istana kerajaan berada di pinggir sungai Daik.
Sebagai Ibu kota kerajaan, diperkirakan Lingga memiliki berbagai fasilitas termasuk di dalamnya kerajinan tenun dan tekatan, sehingga sangat mungkin pada masa ini telah terdapat tudung penutup kepala dengan hiasan motif tertentu yang khas. Selain itu, hubungan dagang antara ibukota kerajaan dengan daerah lain, membuka peluang masuknya berbagai jenis kain sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa cikal bakal tudung manto baru ada pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I (1722-1760). Pada masa ini pusat pemerintah Kerajaan Melayu Johor-Riau berada di Hulu Riau. Pulau Lingga pada masa ini dipimpin oleh Megat Kuning anak Datuk Megat Merah, yang disebut-sebut berasal dari Tanjung Jabung Jambi. Mereka iniah yang kemudian dikenal sebagai suku Mantang, Suak, Tambus dan Nyenyah.
Pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I ini, disebutkan bahwa perempuan Melayu di Daik telah mengenakan kain penutup kepala yang disebut melayah atau tudung. Keberadaan melayah sebagai penutup kepala diperkirakan sebagai hasil enkulturasi dengan budaya Arab dan India, mengingat pada masa itu pihak kerajaan telah melakukan hubungan dagang yang cukup intens dengan Cina, Arab dan India.
Selain itu, para pedagang asing -termasuk orang Arab dan orang India yang lebih populer dengan sebutan “orang keling”- telah lama hidup berbaur dengan orang-orang Melayu. Kemungkinan ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa tudung manto dalam bentuk yang dapat kita jumpai sekarang memiliki kemiripan dengan kain sari yang digunakan perempuan di India. Sampai saat ini pengrajin di Daik masih membuat tudung manto dengan menggunakan kain sari dan benang perak yang diimpor dari India.
Tudung manto semakin berkembang sejak pusat kerajaan Johor-Riau kembali dipindahkan ke Daik Lingga oleh Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1787. Disebutkan bahwa pada masa awal Daik sebagai pusat kerajaan, Sultan memberikan fasilitas yang memadai bagi orang-orang dari luar pulau Lingga agar ingin menetap di Daik Lingga untuk meramaikan Ibu Kota kerajaan.
Dengan banyaknya pendatang yang menetap di Daik terbentuklah perkampungan penduduk yang diberi nama sesuai dengan daerah asal penduduknya. Ada kampung Pahang, Kampung Siak, Kampung Gelam, Kampung Bugis, Kampung Mentok dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Muazam Syah (1832-1841), sektor kerajinan dan pengolahan tembaga mulai dikembangkan. Orang melayu di Daik telah memproduksi kelengkapan rumah tangga dan berbagai perhiasan dari perak. Pada masa ini diperkirakan orang Melayu Daik telah pula memproduksi benang perak dan benang emas, sehingga seni hias kain penutup kepala mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883) perkembangan bidang kerajinan semakin ditingkatkan. Masa ini disebut orang Melayu Daik sebagai masa keemasan kerajinan tenun. Pembuatan kain tenun dan tudung manto merupakan kerajinan tangan perempuan di lingkungan istana dan gadis-gadis kaum bangsawan.
Untuk semakin memajukan kerajinan tenun dan tudung, Kampung Mentok, Siak, dan Gelam dijadikan sebagai pusat kerajinan kain tenun dan pembuatan tudung penutup kepala. Pada masa ini kain tudung tersebut dikenal dengan istilah tudung mentok, yaitu tudung yang berasal dari kampung mentok yang memiliki ciri khas tekatan dengan benang yang disebut kelingkan. Seiring dengan perkembangan zaman nama tudung mentok kemudian lebih dikenal dengan sebutan tudung manto.
Penamaan tudung manto sendiri tidak lepas dari perbedaan pendapat. Sebagian informan mengatakan bahwa tudung manto berasal dari kata tudung dan mentok, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebagian informan lain mengatakan bahwa tudung manto berasal dari kata tudung dan mantu (menantu).
Tudung mantu adalah kelengkapan pakaian adat bagi perempuan Melayu (berupa kain penutup kepala). Kain ini diberikan oleh seorang mertua kepada menantunya pada saat upacara pernikahan. Kain penutup kepala ini wajib dipakai oleh perempuan yang telah bersuami dalam acara-acara adat. Kain penutup kepala ini merupakan simbol bahwa seorang menantu harus tahu cara “menutup malu” bagi suaminya serta menjaga kehormatan seluruh keluarganya.
Salah seorang tokoh sejarah di Daik Lingga mengatakan bahwa nama tudung manto adalah nama yang baru dikenal orang Melayu Daik pada awal abad ke 20. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa orang-orang Melayu Daik yang hidup pada awal abad ke 20 tersebut masih mengenal/menggunakan kata melayah untuk menyebutkan kain penutup kepala bagi seorang perempuan.(ai)